Kamis, 08 Oktober 2009

Sejarah Shalawat Badar

Sejarah Shalawat Badar

Shalawat badar adalah lagu yang diutamakan (jika ga setuju dibilang wajib) oleh kalangan NU. Berisi pujian-pujian kpada Rasulullah Saw dan ahli Badar (para sahabat yang gugur Syahid dalam perang Badar). Berbentuk syair yang dinyanyikan dengan lagu yang khas.
Shalawat Badar digubah oleh Kyai Ali Mansur, salah satu cucu dari Kyai Muhammad Siddiq Jember tahun 1960. Kyai Ali saat itu menjabat Kepala kantor Departemen Agama Banyuwangi. Proses terciptanya Shalawat Badar ini penuh misteri dan teka-teki, konon di suatu malam, Kyai Ali tidak bisa tidur, hatinya terus merasa gelisah karena terus menrus memikirkan situasi politik yang semakin tidak menguntungkan umat Islam khususnya NU. Orang-oang PKI semakin leluasa mendominasi kekuasaan dan brani membunuh Kyai-Kyai dipedesaan. Karena memang Kyailah pesaing PKI ditempat itu.
Sambil mernung Kyai Ali terus memainkan pnanya diatas kertas, menulis Syair-Syair dalam bahasa Arab. Beliau memang dikenal mahir dalam membuat Syair sejak masih belajar di Pesantren Lirboyo, Kediri.
Kegelisahan Kyai Ali berbaur dngan rasa heran, karena pada malam sebelumnya Beliau bermimpi didatangi para Habib berjubah putih-hijau. Semakin mngherankan lagi, karena pada saat yang sam,a isterinya mimpi bertemu Rasulullah Saw. Keesokan harinya mimpi itu ditanyakan kepada Habib Hadi al-Haddar Banyuwangi. Habib Hadi menjawab “itu Ahli Badar ya Akhi!”. Kedua mimpi aneh dan bersamaan itulah yang mendorong dirinya menulis syair, yang kemudian dikenal dengan Shalawat Badar.
Keheranan itu muncul lagi karena kesokan harinya banyak tetangga yang dating kerumah Kyai Ali sambil membawa beras, daging dll, layaknyaa mendatangi orang yang akan punya hajat mantu. Mereka bercerita bahwa pada pagi-pagi buta pintu rumah mreka didatangi orang berjubah putih yang memberitahukan bahwa dirumah Kyai Ali Mansur akan ada kegiatan besar. Mereka diminta membantu, maka mereka membantu sesuai dengan kemampuannya.
“siapa orang berjubah putih itu?” pertanyaan it uterus mengiang didalam bnak Kyai Ali tanpa ada jawaban. Namun malam itu banyak orang bekerja didapur untuk menyambut kedatangan tamu, yang mereka sendiri tidak tahu siap, dari mana dan untuk apa.
Menjekang matahari terbit, serombongan Habib berjubah putih-hijau dipimpin oleh Habib Ali Abdurrahman al-Habsyi dari Kwitang Jakarta, dating kerumah Kyai Ali Mansur. “Alhamdulillah….,” ucap Kyai Ali ketika melihat rombongan yang dating adalah para Habib yang sangat dihormati keluarganya.
Stelah berbincang basa-basi sebagai pengantar, membahas perkembangan PKI dan kondisi perpolitikan national yang semakin tidak mnguntungkan, Habib Ali menanyakan topic lain yang tidak diduga oleh Kyai Ali: “Ya Akhi..! mana syiir yang ente buat kemarin? Tolong Ente bacakan dan lagukan didepan kami ini!”. Tentu saja Kyai Ali terkejut, sbab Habib Ali tahu apa yang dikerjakannya semalam. Namun ia memaklumi, mungkin itulah karamah yang diberikan Allah kepadanya. Sebab dalam dunia kewalian, pemandangan seperti itu bukanlah prkara yang aneh dan perlu dicurigai.
Segera saja Kyai Ali mengambil kertas berisi Shalawat Badar hasil gubahannya semalam, lalu melagukannya dihadapan mereka. Kebetulan Kyai Ali juga memiliki suara yang bagus. Di tengah alunan Shalawat Badar itu paraHabib mendengarkannya dengan khusyuk. Tak lama kemudian mereka meneteskan air mata karena haru. Disinilah letak bedanya antara Ulama dahulu dan sekarang, jika Ulama sekelas Habib Ali Abdurrahman Al-Habsyi saja mendengarkan Shalawat Badar dengan khusyuk hingga menangis, justru orang Islam sekarang mendendangkan dan mendengar Shalawat Badar sambil cengengesan bahkan lebih parah lagi segolongan umat Islam menganggap Shalawat Badar dan shalawat-shalawat lain yang dilagukan adalah Bid’ah.
Selesai mendengarkan Shalawat Badar yang dikumandangkan Kyai Ali Mansur, Habib Ali sgera Bangkit. “Ya Akhi! Mari kita perangi Genjr-genjer PKI itu dengan Shalawat Badar!” Serunya dengan nada mantab. Setelah Habib Ali memimpin Do’a, lalu rombongan itu memohon diri. Sejak itu terkenalah Shalawat Badar sebagai bacaan warga NU untuk membangkitkan semangat melawan PKI.

Adopted from Antologi NU: 140-143

Tidak ada komentar:

Posting Komentar